![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUXmCEslijJSkxtb1tX4VYxpGnUC3qLxHvIne8PTjM3SQ6oX5sn2T1-ja-jSQarmXg81FlGCeaU7Q3PD6vuOuZmXnglsTk_FR-yxAB3dI6Qy_g3GaGkvgrslatRb2sDUwQlPjtjLD0hJ8/s1600/logo.png)
NASIONAL
10 Juni, 2015 - 20:50
JAKARTA (PRLM).-Diorama di Monumen Nasional (Monas) ternyata ada yang memutarbalikkan fakta. Ada gambaran Hari Pancasila pada 1 Juni, diubah menjadi 1 Oktober. Hal ini menunjukkan adanya penonjolan peran Orde Baru dan mengecilkan peran Bung Karno.
“Saya melihat ada diorama yang dibuat dari era Bung Karno, karena tidak selesai, oleh Orde Baru dilanjutkan. Namun, Hari Pancasila dari 1 Juni, kemudian diganti 1 Oktober,” kata sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, dalam acara Dialog Kenegaraan, bersama Ghazali Abbas Adan ( Anggota DPD RI Asal Provensi Aceh), dan Peter Kasenda (Penulis Buku-buku S Sukarno, di DPD RI, Rabu (10/6/2015).
Menurutnya, perubahan itu menunjukkan keinginan penguasa Orde Baru yang ingin mengecilkan peran Bung Karno terkait Pancasila. Orde Baru memang ingin melambungkan perannya dalam mengamalkan Pancasila.
“Padahal faktanya, Bung Karno adalah tokoh terkemuka menggali Pancasila, kalau Orde Baru mengangkat 1 Oktober dikaitkan dengan peristiwa 1965, yang kebudian disebut Kesaktian Pancasila,” ungkapnya.
Asvi menilai, belakangan memang ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, misalnya saja soal kesalahan Presiden Jokowi menyebut tempat lahir Bung Karno di Blitar, padahal dalam berbagai dokumen, lahirnya di Surabaya.
Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya membuat Komisi Sejarah untuk meluruskan secara resmi berbagai kesalahan penulisan sejarah di negeri ini.
Selain itu, data-data sejarah perlu diperbaiki. Misalnya saja, pemerintah membuat dokumen resmi, seperti tempat lahir Bung Karno, di Surabaya, harus ditelusuri letaknya, di Jl Pandean 40 atau Jl Lawang Seketeng, rumah Pegangsaan TImur 56 yang sudah dirobohkan perlu dibangun lagi, juga Wisma Yaso tempat terakhir hidup Bung Karno direnovasi.
Anggota Komite IV DPD RI, Senator Asal Provinsi Aceh Ghazali Abbas Adan mengingatkan agar setiap rezim berkuasa tidak mengkultuskan seorang tokoh secara berlebihan, termasuk kepada tokoh Soekarno. Pengkultusan seakan tokoh itulah yang berjasa pada negara sementara tokoh lainnya yang berjasa terlupakan.
“Boleh saja seperti Bung Karno diingat kembali akan jasanya pada negara ini, tetapi tidak berlebihan. Seakan-akan perjuangan rakyat Aceh dengan membeli pesawat terbang hasil kumpulan rakyat Aceh untuk negara ini terlupakan," kata Ghazali, di DPD RI, Rabu (10/6/2015).
Ia membandingkan, di Aceh itu ada radio Rimba Raya yang dalam sejarahnya menyiarkan bahwa negara RI itu masih ada, tapi seakan tenggelam begitu saja sejarahnya. Peran radio itu tidak pernah dibicarakan dalam perannya untuk negara.
Menurut Ghazali, sejarah itu diperlukan untuk generasi muda dengan didata secara benar, akurat. “Hanya saja setiap ganti rezim selalu ada upaya untuk mengikis perlahan rezim sebelumnya jika tidak sefaham,” ujarnya.
Sedangkan ahli peneliti utama Pusat Penelitian Politik LIPI Asvi Warman Adam menambahkan sangat diperlukan rekonstruksi sejarah nasional karena ada beberapa peninggalan yang hilang.
“Semestinya rumah di Proklamasi saat Bung Karno membacakan awal Naskah Proklamasi dibangun kembalil, karena ini sebagai bukti sejarah. Begitu juga rumah kelahiran Bung Karno yang di Surabaya, Jawa Timur. Hanya saja soal rumah kelahiran Proklamator ini juga perlu penelitian lagi mana yang tepat tempatnya,” ucap Asvi.
Ada lagi yang masih belum terjawab soal Gerakan 30 September PKI, yang sampai sekarang masih muncul berbagai versi tanpa ada kepastian sebagai bukti sejarah, jelasnya. (Sjafri Ali/A-89)***
Berkonten.com18 October 2015 at 10:16
ReplyDeleteOH... ternyata gitu ya sejarahnya.:D