![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaC9vMK5YW4s3aAXh38ilJNxGF-b8Cs1eliEkZit-guZM5NS7GC3yoCmreBNFvo7l40iQv7teuxH9G21CKOedolZezpw_kG9hpqgkoyEL07g06lKR_O24-q0L4dIIgpB3YDZ2KnsOztg8/s320/logodetiknews.png)
Kamis 28 Feb 2013, 17:29 WIB
Kisah Serangan Umum 1 Maret
Jakarta - Bicara apa saja jasa radio Rimba Raya, tak bisa dimungkiri radio itu tak ternilai harganya. Sebagai \\\"serangan udara\\\" dalam upaya memberi kontribusi kepada proses perjuangan bangsa, radio inilah yang menjadi alat propaganda paling strategis melalui siaran-siarannya.
Bermacam taktik disiasati para pejuang kemerdekaan di Bumi Serambi Mekah agar
Bekas kediaman Kol Husein Yusuf yang kini jadi pendapa
Kabupaten Bireuen (Foto: Harian Detik)
stasiun radio ini bisa menjadi salah satu pintu gerbang Indonesia di mata internasional. Terisolasinya Bumi Nusantara karena dikunci serdadu Belanda menyebabkan Indonesia saat itu berada di era kegelapan.
Di tengah berbagai bahaya yang mengintai setiap saat, radio Rimba Raya mati-matian menyuarakan eksistensi kemerdekaan Indonesia ke berbagai penjuru dunia.
Agar efektif dan aman dari telinga-telinga penjajah, siarannya disesuaikan dengan kebutuhan ketika itu. Kadang-kadang digunakan calling signal yang lain, seperti \\\"radio Divisi X\\\". Jadwal penyiarannya dibagi lima bagian, pertama mulai pukul 16.00 hingga 18.00 mengadakan hubungan telegrafi dengan stasiun-stasiun pemancar gerilya dan di dalam kota-kota pendudukan Belanda.
Kedua, mulai pukul 19.00 sampai 21.00 mengadakan siaran yang ditujukan ke dalam negeri dengan menggunakan calling signal \\\"Suara Radio Republik Indonesia\\\". Ketiga, mulai pukul 21.00 hingga 23.00 siaran khusus ke luar negeri.
Keempat, pukul 23.00 sampai 24.00 siaran khusus ke garis depan dengan menggunakan calling signal \\\"Suara Indonesia Merdeka\\\". Kelima, mulai pukul 24.00 sampai pagi mengadakan hubungan radio telefoni dengan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Ketika radio Rimba Raya akan mengudara pada sore hari, beberapa penyiarnya, seperti Syah Asyik dan Ramli Melayu, sudah bersiap sejak siang. \\\"Kedua orang ini merupakan penyiar dalam bahasa Mandarin dan Melayu,\\\" tutur menantu Kolonel Husein, Ali Rasyid Djuri, saat ditemui Detik di Bireuen pekan lalu.
Bila siaran dilakukan tengah malam, penyiar akan menggunakan kode, \\\"Halo Sudarsono, Halo Palar, kirimkan kami mentega, susu, dan beras.\\\" Yang dimaksud adalah barang-barang untuk kepentingan perjuangan, seperti alat-alat senjata. Kode \\\"beras\\\" yang dimaksud adalah peluru.
Sebagai corong Indonesia, radio Rimba Raya dengan lantang acap menegaskan bahwa Republik Indonesia masih berdiri kokoh. Pemerintah dan wilayah Republik pun masih utuh.
Selain soal perjuangan, radio yang juga menyiarkan berita-berita lokal di Aceh ini melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi, India. Berita-berita itu, selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, dikutip oleh All India Radio. Lantas, pada Konferensi Asia tentang Indonesia pada 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja radio Rimba Raya diperpanjang dan berita-berita dikirimkan kepada wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Saksi Bisu Sejarah <\/strong>
Sekilas tidak ada yang istimewa pada pendapa kantor Bupati Bireuen, yang berlokasi di Jalan Teuku Hamzah, Aceh Utara, ketika Detik menyambangi akhir pekan lalu. Hanya tampak bangunan semipermanen yang punya gaya adat Aceh dengan warna putih. Bangunan ini sudah cukup tua.
Namun, di balik bangunan ini, ada nilai sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain pernah menjadi tempat pengasingan Presiden Sukarno, area pendapa kantor Bupati ini punya kenangan karena pernah menjadi kediaman Kolonel Husein Yusuf, Komandan Divisi X, Sumatera Langkat, dan Tanah Karo.
Berdasarkan cerita menantu Kolonel Husein, Ali Rasyid Djuri, salah satu bagian di pendapa itu merupakan kamar suami Ummi Salmah itu. Kamar ini pulalah yang menjadi saksi sejarah bersuaranya radio Rimba Raya ke beberapa negara saat melawan propaganda Belanda pada masa agresi militer kedua. Tapi, amat disayangkan, bentuk situs bersejarah ini sudah berubah. Hanya tersisa lantai serta tembok putih yang rata dengan atap pendapa bergaya adat Aceh.
\\\"Sudah enggak ada. Peralatan studio kan sekarang juga dipindahkan ke Museum TNI Yogyakarta,\\\" kata Djuri saat ditemui di kediamannya, Bireuen, pekan lalu.
No comments:
Post a Comment