![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3VSeCCdIw1HHmdGbXEhqkPnxjY5KvHZFR4vol0w5Lj4XXxo9QrHV5JxJMXaVFdRCXER-t9e84MPf9INfnhPFx6v6J73NKrNCTBaqcZobpbD2pA3bnX_VAi69-UGOqt2kPAEr9yruc2xM/s400/Lg.jpg)
Posted by: lintasgayo.co in Sara Sagi, Terbaru 3 hours ago 0
Catatan Khalisuddin
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhM-ws63xb6xLfBkg2rNQB8Y5T85iww07x6zjwUb0SAUuZrIVMIXZRR3Qbd64W9K8pLJd7XxSTcgxy5LemOy9jdbC87Tn4vQVOl0ffTZJLjQ012Mf37gXqTEo-KxeX75-RjD0Yfx7D56fk/s1600/Museum+1.jpg)
Pertanyaan ini terjawab saat meliput persiapan acara, sabtu siang. ternyata disana ada open stage yang mampu menampung sedikitnya 2000 pengunjung. Begitu dijelaskan kepala Museum tersebut, Mayor Mustafa Kamal yang ternyata juga Urang Gayo berasal dari Belang Panas Bener Meriah.
“Sudah 3 kali acara urang Gayo digelar disini,” ungkapnya. Dan menurut saya, tempatnya memang sangat cocok untuk pementasan Didong Jalu dengan sedikit modifikasi, maka jadilah tempat refresentatif untuk acara tersebut.
Sempat terpikir, kenapa di Gayo tidak dibangun seperti ini, khusus untuk pementasan Didong yang natabene adalah satu dari sekian kesenian kebanggaan masyarakat Gayo. Dan jika dibandingkan dengan bulu tangkis, olahraga yang tidak pernah membawa harum nama Aceh Tengah, justru punya stadion refresentatif yang berlokasi di seputaran Paya Ilang Takengon. Sial benar nasib seni di Gayo dalam tanda kutip tidak termasuk Gayo Lues yang sukses menduniakan tari Samannya hingga diakui dunia, bahkan tercatat di MURI karena pernah menarikan Saman dengan jumlah 5057 penari di tahun 2014.
Kembali ke Taman Mini yang sebenarnya ada buah tangan putra Gayo disana, yakni miniatur pulau-pulau yang tak lain adalah karya Chairul Bahri, seniman asli Gayo yang juga kreator lambang daerah Provinsi Aceh “Panca Cita”. (baca : Chairul Bahri disainer “Pantja Tjita” yang dilupakan)
Beberapa saat saya larut memperhatikan Ervan Ceh Kul dan kawan-kawan termasuk bintang Idola Cilik 2015, Naura menyesuaikan diri dengan sound system yang disediakan. Mengatasi kejenuhan menanti datangnya malam, saya memperhatikan lingkungan sekitar. Sejumlah patung pahlawan pejuang kemerdekaan tampak berdiri mengitari stage tersebut. Saya perhatikan beberapa diantaranya hingga saya pastikan tidak ada yang dari Gayo, apakah itu Aman Dimot apalagi Inen Mayak Teri, Tengku Tapa dan lain sebagainya.
Masuk ke beberapa ruang mencari informasi yang bisa dibaca, juga tidak ada tertera kata Gayo (semoga saya salah) hingga akhirnya saya naik ke lantai dua. Disana ada semacam lemari kaca yang didalamnya terdapat boneka-boneka mini yang menggambarkan perang. diantaranya tertulis Perang Lombok 1894, Pertempuran Buleleng 1846 dan lain-lain. Tentu perang ini terjadi sedemikian hebat sehingga perlu diketahui masyarakat luas dengan memajang gambaran kondisi perang tersebut di Museum.
Rasa iri menggelayut, kenapa dari Gayo tidak ada?
Tidak perlu jawaban dari orang lain. Saya jawab sendiri, ya wajar karena perjuangan kita (urang Gayo) menjadikan sejarah tokoh pejuang yang salahsatunya Aman Dimot sebagai pahlawan nasional masih gagal.
Tidak perlu jawaban dari orang lain. Saya jawab sendiri, ya wajar karena perjuangan kita (urang Gayo) menjadikan sejarah tokoh pejuang yang salahsatunya Aman Dimot sebagai pahlawan nasional masih gagal.
Walau sudah diusahakan di tahun 2010 silam penerbitan satu buku biografi Aman Dimot sebagai persyaratan terakhir diperolehnya gelar Pahlawan Nasional, dimana saya juga diberi peran menelusuri jejak Aman Dimot atas permintaan Prof. M Din Madjid, saat itu Presiden RI dijabat Susilo Bambang Yudhoyono. (baca : Biografi, Syarat Terakhir Pahlawan bagi Aman Dimot).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgj4bkeG8E93SJq9jR8Kl-YMG06ukg_ZYnY_C2M0lZVWaoTOrHMUBjvj0HTVq0GXDWhWzE_0xkb9AAJuTyBSsYU-o2vdyDY6kPVaFQkofcu_eni_CUwxLQRalr2TG54_NhF269NcB0rmyY/s1600/museum+5.jpg)
Selanjutnya peran Radio Rimba Raya (RRR) yang sudah nyata-nyata terbukti sebagai salahsatu kunci penting penyelamatan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tahun 1949. Penjajah Belanda ingin mengusai kembali Indonesia dengan agresi meliternya yang dilengkapi dengan propaganda jika Indonesia sudah mereka jajah kembali. Namun dari Gayo, Rimba Raya suara Indonesia masih ada dikumandangkan membantah propaganda tersebut. Bukti sejarah ini berhasil dikumpulkan oleh Ikmal Gopi yang dirangkum dalam film dokumenter Radio Rimba Raya.
Pengakuan dari Pemerintah Aceh sudah didapatkan, dan paling terkini adalah pernyataan Gubernur Aceh Zaini Abdullah di Museum tersebut saat membuka hajatan silaturrahmi masyarakat Gayo se-Jabodetabek, Sabtu malam 6 Agustus 2016.
“Melalui suara-suara pejuang dari dataran tinggi Gayo yang disiarkan Radio Rimba Raya, masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia masih ada dan berdaulat,” begitu klaim Zaini Abdullah yang didengarkan oleh ribuan Urang Gayo di tempat tersebut. Termasuk Kadis Sosial Aceh, Hudri dan tentu saja Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM serta perwakilan Bupati Bener Meriah serta ketua DPRK Aceh Tengah dan Bener Meriah. (baca : Gayo Berjasa Selamatkan Indonesia).
Ya tentu saja, sebenarnyalah jalan terbuka lebar untuk membawa RRR, Aman Dimot dan lainnya masuk ke museum tersebut, tinggal saja kemauan kita semua mengerjakannya dikomandani pihak terkait khususnya Dinas Sosial Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan sokongan Dinas Sosial Aceh.
Semasih ada waktu secepat kita bisa, terlebih RI 1 masih merasa Tanoh Gayo sebagai kampung halamannya. Bukan nepotisme, namun tentu karena dia lebih tau jika usulan kita layak diterima.[]
No comments:
Post a Comment