BUS MEWAH Pameran GIIAS ICE - BSD

Tuesday, 23 February 2016

Radio Rimba Raya, Pengabar Merdeka di Tengah Belantara


TUGU warna jingga itu berdiri tegak di bawah langit tengah hari yang terik, 3 Agustus 2012. Ada lima “tangan” menghadap ke lima arah. Di tengah tugu berdiri sebuah tiang mirip pemancar radio. Tugu ini terletak di tengah kebun kosong. Untuk menuju ke tempat ini bisa melalui jalan kecil beraspal, sekitar 300 meter dari Jalan Takengon-Bireuen.
Di kaki tugu juga dibangun tangga dan tempat duduk bagi pengunjung. Selain sebagai logo daerah, pemerintah setempat menetapkan tugu ini sebagai objek wisata bersejarah. Inilah Tugu Radio Rimba Raya yang terletak di Desa Rime Raya, Bener Meriah. Di bawah “tangan-tangan” tadi ada dua prasasti ukuran besar dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia. Isinya bercerita tentang peran Radio Rimba Raya memberitakan revolusi 1945 ketika perjuangan melawan Belanda masih menyala-nyala.
Menurut Ikmal Gopi, sutradara film dokumenter tentang radio tersebut, bentuk tugu sudah beberapa kali mengalami perombakan. Sebelum dirombak, kata Ikmal, pernah diadakan sayembara secara nasional untuk membuat maket tugu. Sayembara dimenangkan warga Takengon. “Saya lupa siapa namanya, tapi bentuknya yang sekarang berbeda dengan gambar yang menang sayembara itu,” ujar Ikmal kepada The Atjeh Times, Rabu pekan lalu.
Dalam buku berjudul Peranan Radio Rimba Raya terbitan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh, disebutkan sebelum di Rime Raya, pemancar radio dipasang di Krueng Simpo. Sementara studionya dibawa ke kediaman Kolonel Husein Yoesoef, Komandan Tentara Republik Indonesia Divisi Gajah I, di Bireuen.
Radio menggunakan pemancar merek Marcori yang dibawa dari Malaysia oleh Mayor John Lie. Ia penyeludup kelas wahid kala itu yang oleh Belanda di juluki “The Greatest Smuggler of the Southeast”.
Perangkat pemancar itu didaratkan di Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut Nukum Sanani atas perintah Daud Beureueh, Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Setelah itu, perangkat radio dibawa ke Langsa dan selanjutnya ke Bireuen.
Namun, versi lain menyebutkan, pada awal agresi militer Belanda pertama, 27 Juli 1947, perangkat pemancar dibawa Kapten NIP Karim (ada yang menulisnya Nip Xarim). Ia Komandan Batalyon B di Tanjung Pura, Langkat. Karim juga pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan.
Lalu, Husein Yoesoef meminta NIP Karim membawa pemancar ke Bireuen. Ikmal Gopi yang meneliti riwayat John Lie menyebutkan, sang mayor berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus agresi militer pertama. Baru pada September 1947, kata Ikmal, John Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan, lalu ke Pelabuhan Raja Ulak di Kuala Simpang.
Yang pasti, tak lama di Bireuen, beberapa bulan kemudian pemancar dipindahkan ke Cot Gue, Kutaraja (Banda Aceh). Alasan pemindahan menurut Ikmal karena kondisi keamanan dan untuk mempercepat pemberitaan perjuangan kemerdekaan. Di Kutaraja pemancar radio dipasang di Cot Gue, sedangkan studio dibuat dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Peunayong. Antara pemancar dan studio terhubung kabel.
Namun, ketika pemancar di Cot Gue sedang dipasang, Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Daud Beureueh memerintahkan pemancar dipindahkan ke Gayo. Seperti tercatat dalam prasasti tadi, setelah Yogya jatuh, Belanda mulai menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia, kecuali Aceh.
Sehari kemudian perangkat pemancar diberangkatkan secara diam-diam ke Aceh Tengah, di Kampung Rime Raya, Kecamatan Timang Gajah. Pemancar tersebut akhirnya didirikan di Krueng Simpo, sekitar 20 kilometer dari Bireuen arah Takengon.
Namun masalah timbul, tak ada mesin listrik. Ummi Salamah, istri Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Setelah dicari kabel akhirnya ditemukan di Lampahan dan Bireuen.
Radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio, sedangkan studio radio berada di salah satu kamar rumah Husein Yoesoef. Pemasangan radio dilakukan beberapa desertir pasukan sekutu, seperti W. Schult, Letnan Satu Candra, Sersan Nagris, Sersan Syamsuddin, Abubakar, dan Letnan Satu Abdulah.
Mereka tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu. Para desertir membantu membuat gubuk dan membangun radio sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio dibangun di bawah pohon tinggi dan rindang. Antena ditancapkan di atas pohon. Di gubuk juga dipasang pesawat radio penerima berita khusus.
Dengan mesin diesel, radio mengudara sejak pukul 16.00 hingga 18.00 WIB. Selain bahasa Indonesia, beberapa bahasa asing digunakan saat siaran seperti Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India, dan Pakistan Madras. Para desertir itulah yang menyiarkan siaran dalam bahasa asing. Seperti tertera dalam prasasti di bawah tugu, sesudah mengudara menembus angkasa, Radio Rimba Raya mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia masih ada. []

Summary
Dengan mesin diesel, radio mengudara sejak pukul 16.00 hingga 18.00 WIB. Selain bahasa Indonesia, beberapa bahasa asing digunakan saat siaran seperti Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India, dan Pakistan Madras.

Mereka Tak Lupa Radio Rimba


EKSODUS KE BELANTARA DEMI SUARA MERDEKA


RADIO INI JANGAN DILUPAKAN


Membawa Pemancar Menembus Blokade Belanda


Kisah Serangan Umum 1 Maret 1949, Eksodus ke Belantara Demi Suara Merdeka


DES - detikhot
Jumat, 01/03/2013 06:00 WIB

Jakarta -
Antara Banda Aceh, Takengon, dan Bireuen, kini terbentang ruas jalan beraspal yang panjang dan melelahkan saat ditempuh, meski menumpang mobil yang bagus. Pemandangan yang dominan adalah pegunungan dan belantara lebat. 

Tak terbayangkan, bagaimana perjalanan panjang ini ditempuh serombongan orang, yang menumpang sebuah truk kecil, dimulai menjelang tengah malam pada akhir 1948 yang silam. Perjalanan yang lambat karena mereka kerap menghentikan laju kendaraan, melipir ke bawah kanopi pohon lebat agar tak kepergok patroli pesawat Belanda. 

Tapi risiko itulah yang diambil para penyiar dan teknisi radio perjuangan, yang kelak lebih dikenal dengan nama Radio Rimba Raya. Tanpa keberanian itu, barangkali serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta tak akan tersebar ke seluruh dunia. 

(DES/DES) 

Pahlawan Sepi dari Negeri Kopi



Kamis 28 Feb 2013, 19:05 WIB

Kisah Serangan Umum 1 Maret

- detikNews

Jakarta - Bila nanti Kabupaten Bireuen, Aceh, mempunyai Taman Makam Pahlawan, barangkali dua makam berdampingan di tempat sunyi itu akan menjadi cikal bakalnya. Meski tampak tak terurus dan sekelilingnya ditumbuhi ilalang, kedua makam tersebut berisi jasad tokoh yang amat penting dalam sejarah perjuangan Aceh, dan Indonesia.

Itulah makam Kolonel Husein Yusuf, bekas Panglima Divisi X Komandemen Sumatera Utara, Langkat dan Tanah Karo, dan istrinya, Letnan Dua Ummi Salamah. Kedua tokoh itu adalah inisiator berdirinya radio darurat Radio Rimba Raya pada Juli 1947.




Kol Husein Yusuf (Foto: Hardani Tri Yoga-Harian Detik)

Sejarawan Aceh, TA Talsya, mengatakan Kolonel Husein mengawali kariernya sebagai guru HIS (sekolah rakyat). Tapi peperangan kemudian membuatnya bergabung dengan Tentara Republik Indonesia, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.

Puncak kariernya adalah saat Kolonel Husein diangkat menjadi Panglima Divisi X, setelah menjabat Kepala Divisi Gajah I. Adapun Divisi Gajah II dipimpin oleh Kolonel Ahmad Tahir. Kedua divisi ini digabungkan menjadi Divisi X.

\\\"Kolonel Husein amat disegani pasukannya dan pasukan lawan,\\\" kata Talsya di Banda Aceh pekan lalu. Pada masa kepemimpinannya inilah, dia memesan seperangkat radio dari Malaya dan kemudian ditempatkan di salah satu kamar di rumahnya. Inilah cikal bakal Radio Rimba Raya.

Bagaimana dengan kisah sang istri, Letnan Dua Ummi Salamah? Rupanya, pada saat pesawat radio masih menjadi milik Divisi X, Ummi berjasa dalam memasok tenaga listrik. Biar perempuan, Letnan Ummi ternyata mahir soal listrik.

Diam-diam Ummi mencari kabel yang bisa mengantar tenaga ke pemancar yang berada di Pegunungan Krueng Simpo, 8 kilometer dari Bireuen. Letnan Ummi pun sesekali tampil sebagai penyiar di radio darurat itu.

\\\"Beliau sering jadi penyiar pada sore hari dengan isi pesan memotivasi para pejuang,\\\" kata sejarawan Mukhtar Ibrahim.

Tapi perselisihan antara Divisi X dan Gubernur Militer Mayor Jenderal Tengku Muhammad Daud Beureueh, yang memerintah kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, mengubah situasi. Husein kehilangan jabatannya.

Perselisihan itu dipicu oleh upaya restrukturisasi gerilyawan ke dalam Tentara Nasional Indonesia. Banyak anak buah Kolonel Husein yang akhirnya menjadi pengangguran karena dinilai tak layak.

Catatan Kolonel Arifin Pulungan, seorang bekas pembantu perwira operasi di Divisi X, yang dimuat dalam otobiografinya, Kisah dari Pedalaman, menyebut restrukturisasi dan pencopotan Kolonel Husein itu telah membangkitkan bibit perpecahan di Divisi X, meski akhirnya bisa diredam.

Di sinilah, Letnan Ummi, yang kala itu pejabat intel di Divisi X, mengusulkan pembentukan Tentara Pembangunan, yang ditugaskan membuka lahan dan bertani untuk menghidupi dirinya. Para bekas gerilyawan ini kemudian diutus ke sebuah belantara di jalan raya Bireuen-Takengon. Lahan yang mereka buka kemudian disebut Kampung Rimba Raya.

Bak sudah menjadi takdir, Kolonel Husein, yang memimpin Tentara Pembangunan, akhirnya \\\"bersatu\\\" kembali dengan radio yang dirintisnya. Soalnya, pemancar radio itu telah dikirim ke Rimba Raya demi menghindari penggerebekan pasukan Belanda pasca-agresi militer kedua pada 19 Desember 1949.

Kini jasad pasangan suami-istri itu bersemayam di Dusun Jeumpa Gampong, Geulumpang Payong, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Makam sederhana itu hanya diurus oleh keluarga.

Menantu Kolonel Husein, Ali Rasyid Djuli, mengatakan pemerintah tak pernah memperhatikan makam mertuanya itu. Padahal mereka dinilainya layak disebut pahlawan.

Tapi, di sisi lain, Bireuen, salah satu daerah penghasil kopi yang enak di tanah Aceh, rupanya belum mempunyai Taman Makam Pahlawan. Djuli menyatakan, andai kata Bireuen nanti memiliki Taman Makam Pahlawan, mertuanya harus menjadi pendahulu. 

\\\"Awali dengan pemugaran makam Bapak dan Ibu,\\\" ujarnya.

Suara Merdeka dari Aceh






Kamis 28 Feb 2013, 15:23 WIB

Kisah Serangan Umum 1 Maret

- detikNews

Jakarta - Jangan salah memahami judul di atas. Bukan, kami bukan membicarakan konflik bersenjata yang pernah terjadi di provinsi tersebut. Kami justru sedang membicarakan sebuah fakta sejarah yang pernah terjadi di Aceh. Sejarah yang kini agak terlupakan.

Inilah kisah tentang radio perjuangan yang dirintis Divisi X Komandemen Sumatera Utara, Langkat dan Tanah Karo. Radio ini kelak dikenal dalam sejarah dengan nama Radio Rimba Raya. Radio ini berjasa sebagai corong Republik untuk menangkal propaganda sesat Belanda. Termasuk, yang fenomenal, menyiarkan serangan besar selama enam jam di Yogyakarta pada 1 Maret 1949.

Tugu yg didirikan diatas lahan tempat berdirinya Radio Rimba Raya
 di kampung Rimba Raya, Bener Meriah, Aceh (Foto: Harian Detik)


Radio ini didirikan untuk melakukan kontrapropaganda atas siaran radio Belanda ataupun radio lokal yang dikuasai Belanda. Pasca-agresi militer Belanda yang kedua pada 19 Desember 1948, penjajah selalu mempropagandakan bahwa RI sudah mati sehingga kedaulatan Republik belum diakui.

Tapi tentara di Divisi X tak mau diam saja. Panglima Divisi X saat itu, Kolonel Husein Yusuf, diam-diam merancang pembelian seperangkat stasiun radio dan pemancarnya dari Malaya. Dengan bantuan penyelundup kondang pada zaman itu, radio pun dibeli dengan barter hasil bumi dan emas.

Studionya dibangun di salah satu ruangan di rumah Kolonel Husein di Bireuen, kota kecil yang pernah dikunjungi Presiden Sukarno pada 1948. Mereka melakukan siaran dari sore sampai dini hari untuk menyemangati para pejuang dan menangkis berbagai propaganda Belanda.

Siaran berita dan informasinya mengudara dalam bahasa China, Inggris, Belanda, Urdu, dan Arab, selain bahasa Indonesia serta Aceh. Siarannya ditangkap sampai India, Singapura, Filipina, dan direlai ke Eropa.

Sampai suatu ketika, radio dan pemancarnya harus dipindahkan ke Kutaraja, Banda Aceh. Lalu, setelah agresi Belanda kedua, stasiun radio itu diungsikan ke belantara bernama Rimba Raya di jalan raya Bireuen-Takengon, Aceh Tengah.

\\\"Tanpa Radio Rimba Raya, mungkin sejarah jadi lain,\\\" kata Ikmal Husin, seorang sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta, yang telah membuat film dokumenter tentang radio tersebut.

Mungkin menimbulkan kesan jemawa, mengingat Serangan Umum 1 Maret dalam buku-buku sejarah selalu tentang kisah para pejuang di Yogyakarta. Serta, tentu saja, nama-nama besar di balik serangan itu, seperti Letnan Kolonel Soeharto, Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Padahal, bisa jadi, tanpa Radio Rimba Raya, Serangan Umum 1 Maret 1949 hanyalah sebuah aksi sporadis di wilayah kecil yang pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia. Suara bedil, dan pengorbanan nyawa, meledak tak lebih jauh dari batas-batas Kota Yogya.

Siapa pernah mengira, dari hutan lebat itu pernah memancar suara-suara kemerdekaan Indonesia. Dari balik pepohonan pinus dan sawah yang sekarang tak terurus pernah tersiar kabar bahwa Republik Indonesia masih ada!

Corong Ibu Pertiwi ke Penjuru Bumi







Kamis 28 Feb 2013, 17:29 WIB

Kisah Serangan Umum 1 Maret

- detikNews


Jakarta - Bicara apa saja jasa radio Rimba Raya, tak bisa dimungkiri radio itu tak ternilai harganya. Sebagai \\\"serangan udara\\\" dalam upaya memberi kontribusi kepada proses perjuangan bangsa, radio inilah yang menjadi alat propaganda paling strategis melalui siaran-siarannya.

Bermacam taktik disiasati para pejuang kemerdekaan di Bumi Serambi Mekah agar 

Bekas kediaman Kol Husein Yusuf yang kini jadi pendapa
 Kabupaten Bireuen (Foto: Harian Detik)

stasiun radio ini bisa menjadi salah satu pintu gerbang Indonesia di mata internasional. Terisolasinya Bumi Nusantara karena dikunci serdadu Belanda menyebabkan Indonesia saat itu berada di era kegelapan.

Di tengah berbagai bahaya yang mengintai setiap saat, radio Rimba Raya mati-matian menyuarakan eksistensi kemerdekaan Indonesia ke berbagai penjuru dunia.

Agar efektif dan aman dari telinga-telinga penjajah, siarannya disesuaikan dengan kebutuhan ketika itu. Kadang-kadang digunakan calling signal yang lain, seperti \\\"radio Divisi X\\\". Jadwal penyiarannya dibagi lima bagian, pertama mulai pukul 16.00 hingga 18.00 mengadakan hubungan telegrafi dengan stasiun-stasiun pemancar gerilya dan di dalam kota-kota pendudukan Belanda.

Kedua, mulai pukul 19.00 sampai 21.00 mengadakan siaran yang ditujukan ke dalam negeri dengan menggunakan calling signal \\\"Suara Radio Republik Indonesia\\\". Ketiga, mulai pukul 21.00 hingga 23.00 siaran khusus ke luar negeri.

Keempat, pukul 23.00 sampai 24.00 siaran khusus ke garis depan dengan menggunakan calling signal \\\"Suara Indonesia Merdeka\\\". Kelima, mulai pukul 24.00 sampai pagi mengadakan hubungan radio telefoni dengan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Ketika radio Rimba Raya akan mengudara pada sore hari, beberapa penyiarnya, seperti Syah Asyik dan Ramli Melayu, sudah bersiap sejak siang. \\\"Kedua orang ini merupakan penyiar dalam bahasa Mandarin dan Melayu,\\\" tutur menantu Kolonel Husein, Ali Rasyid Djuri, saat ditemui Detik di Bireuen pekan lalu.

Bila siaran dilakukan tengah malam, penyiar akan menggunakan kode, \\\"Halo Sudarsono, Halo Palar, kirimkan kami mentega, susu, dan beras.\\\" Yang dimaksud adalah barang-barang untuk kepentingan perjuangan, seperti alat-alat senjata. Kode \\\"beras\\\" yang dimaksud adalah peluru.

Sebagai corong Indonesia, radio Rimba Raya dengan lantang acap menegaskan bahwa Republik Indonesia masih berdiri kokoh. Pemerintah dan wilayah Republik pun masih utuh.

Selain soal perjuangan, radio yang juga menyiarkan berita-berita lokal di Aceh ini melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi, India. Berita-berita itu, selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, dikutip oleh All India Radio. Lantas, pada Konferensi Asia tentang Indonesia pada 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja radio Rimba Raya diperpanjang dan berita-berita dikirimkan kepada wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.

Saksi Bisu Sejarah <\/strong>

Sekilas tidak ada yang istimewa pada pendapa kantor Bupati Bireuen, yang berlokasi di Jalan Teuku Hamzah, Aceh Utara, ketika Detik menyambangi akhir pekan lalu. Hanya tampak bangunan semipermanen yang punya gaya adat Aceh dengan warna putih. Bangunan ini sudah cukup tua.

Namun, di balik bangunan ini, ada nilai sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain pernah menjadi tempat pengasingan Presiden Sukarno, area pendapa kantor Bupati ini punya kenangan karena pernah menjadi kediaman Kolonel Husein Yusuf, Komandan Divisi X, Sumatera Langkat, dan Tanah Karo.

Berdasarkan cerita menantu Kolonel Husein, Ali Rasyid Djuri, salah satu bagian di pendapa itu merupakan kamar suami Ummi Salmah itu. Kamar ini pulalah yang menjadi saksi sejarah bersuaranya radio Rimba Raya ke beberapa negara saat melawan propaganda Belanda pada masa agresi militer kedua. Tapi, amat disayangkan, bentuk situs bersejarah ini sudah berubah. Hanya tersisa lantai serta tembok putih yang rata dengan atap pendapa bergaya adat Aceh.

\\\"Sudah enggak ada. Peralatan studio kan sekarang juga dipindahkan ke Museum TNI Yogyakarta,\\\" kata Djuri saat ditemui di kediamannya, Bireuen, pekan lalu.

Pesan \'Indonesia Masih Ada\' dari Tengah Rimba


Kamis 28 Feb 2013, 16:25 WIB

Kisah Serangan Umum 1 Maret

- detikNews
 Jakarta - \\\"Sekali merdeka, tetap merdeka...!\\\" Hampir 65 tahun silam, pekik pengobar semangat itu diucapkan berkali-kali oleh penyiar radio Rimba Raya. Saat itu, hari Minggu, 26 Desember 1948, sekitar pukul lima sore, radio Rimba Raya pertama kali mengudara. Dinamai demikian karena radio tersebut menyiarkan informasi dari tengah hutan belantara Aceh, tepatnya di Desa Rime Jaya, dataran tinggi Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah.

Sejak pertama mengudara, radio Rimba Raya menggunakan enam bahasa sebagai pengantar siaran. Selain Indonesia, ada bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu, serta Arab. Mulai hari kedua, radio ini menambah bahasa lokal Aceh dalam siarannya. Siaran dalam berbagai bahasa itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih ada, pun demikian tentaranya masih gigih berjuang.

Pesan inilah yang saat itu akan disampaikan kepada seluruh dunia, di samping untuk mengimbangi propaganda penjajah Belanda, yang sepekan sebelumnya melancarkan agresi militer kedua. Radio Herventzent milik Belanda di Jakarta, saat itu bernama Batavia, serta radio Hilversum, memberitakan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi karena Ibu Kota Yogyakarta telah dikuasai Belanda.

Penggagas Radio Rimba Raya<\/strong>

Keberadaan radio Rimba Raya tak lepas dari sosok Kolonel Husein Yusuf. Panglima Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Taha Karo itulah penggagas pendirian sekaligus pemimpin radio itu. Husein juga berperan mengatur strategi menghadapi agresi militer Belanda di wilayah tersebut.

Radio Rimba Raya sejatinya adalah Radio Republik Indonesia darurat, yang saat itu identik sebagai radio Divisi X Komandemen Sumatera. Pada pertengahan 1947, pasca-agresi pertama Belanda, pemancar radio ini sempat berpindah tempat beberapa kali, sebelum akhirnya didirikan di Rime Jaya, dan dinamai radio Rimba Raya.

Pemancar sempat dipasang di Krueng Simpo, 20 kilometer dari Bireuen ke arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar di rumah Kolonel Husein di Kota Bireuen. Pemancar juga pernah dipasang di Cot Gue, Koetaradja, Banda Aceh, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan Aceh dan Sumatera Utara.

Sayangnya, setelah terpasang, radio tak sempat mengudara karena, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya. Sehari kemudian, Gubernur Teungku Daud Beureueh menginstruksikan agar pemancar dipindah ke tempat aman. \\\"Itu tugas Divisi X,\\\" kata sejarawan Mukhtar Ibrahim saat ditemui di Takengon akhir pekan lalu.

Namun mencari tempat aman dan mendirikan pemancar bukan perkara mudah karena harus menghindari mata-mata Belanda. Apalagi hampir seluruh Sumatera timur dan wilayah lain saat itu sudah dikuasai penjajah. Hanya Aceh yang belum dicengkeram meski tentara Belanda sudah masuk ke wilayah itu.

Dipindah Menembus Hutan<\/strong>

Pemindahan pemancar ke Rime Jaya, atas usul Kolonel Husein, menurut Mukhtar, sudah tepat. Namun, konsekuensinya, pasukan Divisi X harus menyiapkan peralatan karena sulit mendirikan pemancar radio di hutan belantara, yang tidak ada aliran listrik. \\\"Butuh perjuangan sangat keras,\\\" ujarnya. \\\"Sebab, kalau di hutan, perlu daya pancar siaran sekitar 1,5 kilowatt.\\\"

Saksi mata di Rime Jaya, Tukiran, menuturkan, sebelum dipasang, pemancar dibawa menembus hutan sejauh 12 kilometer untuk menghindari mata-mata Belanda. Tiba di Rime Jaya pukul 01.00, Kolonel Husein dan pasukannya langsung menemui Raja Kasah, penguasa setempat yang juga ayah kandung Tukiran.

Raja Kasah pun membantu mencarikan lokasi pemancar agar radio bisa segera memancarkan siaran. Agar hal itu tidak bocor, Raja Kasah dan Kolonel Husein membuat janji dengan 17 kepala keluarga di Rime Jaya.

\\\"Sekali merdeka, tetap merdeka, kata Kolonel Husein dalam bahasa Aceh kepada warga,\\\" kata Tukiran, yang kini berusia 71 tahun.

Pemancar akhirnya terpancang dengan tinggi hanya 8 meter dan mengandalkan kayu setebal 12 cm. Sebuah gubuk kayu didirikan untuk menampung peralatan sekaligus studio cadangan dari studio utama yang berada di rumah Husein di Bireuen.

Untuk mendukung siaran dalam berbagai bahasa, saat itu radio Rimba Raya dibantu sejumlah kawan Husein yang menjadi tenaga penyiar, antara lain W Schultz, bekas tentara Inggris yang desersi dan membela pejuang Indonesia, Syarifuddin, Agus Sam, serta Ummi Salmah.

\\\"Tiap satu penyiar itu satu bahasa,\\\" tutur Mukhtar Ibrahim.

Pada 26 Desember 1948, radio Rimba Raya pun mengudara. Ali Rasyid Djuri, keluarga Kolonel Husein, menceritakan siaran radio itu bisa diterima di Malaysia, Saigon (Vietnam), Australia, hingga negara Eropa, seperti Inggris dan Belgia. Berkat siarannya, dunia internasional akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Belanda pun menyerah dan menghentikan aksi propagandanya.

Saturday, 20 February 2016

Trailer Film Dokumenter Radio Rimba Raya


Proses Pembuatan Film Dokumenter Sejarah RRR 4 Tahun 2006 - 2010

Sutradara Ikmal "bruce" Gopi
Radio Revolusi di Aceh.
1948-1949. Agresi ke II, 19 Desember 1948. Saat Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Sukarno - Hatta Ditangkap, Panglima Sudirman bergrilya, Pemerintahan di Jogya diduduki Belanda.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di Bukit Tinggi dan Radio Rimba Raya membantah semua Propaganda Belanda yang mengatakan Indonesia sudah tidak ada lagi.
Upload Pertama sekali Tanggal 17 Januari 2009 dengan Viewer 6589.

Surat JENDERAL SUDIRMAN Tentang Permintaan Obat - Obatan, Melalui Radio Rimba Raya.


Surat Panglima Besar JENDERAL SUDIRMAN Kepada Dr.Mahyudin.
Kepala Rumah Sakit Kuta Raja ‪#‎Sekarang‬ Banda Aceh#
Telah Kami Terima Dengan Baik Atas kiriman Obat Suntik Tsb.
Kami Melahirkan Rasa Syukur dan Gembira, beserta ucapan beribu- ribu Terima kasih.
Pristiwa Panglima Sudirman dalam keadaan sakit balik ke Jogja setelah PDRI mengembalikan Mandat Kepada Sukarno. Permintaan Obat - Obatan ini Melalui Radio Rimba Raya.

Radio Rimba Raya, Mangkok Telepon dan Kabel


Suara Merdeka Radio Rimba Raya Dari Aceh Harian Moslem

Suara Merdeka Radio Rimba Raya Dari Aceh

Harian Moslem

Merajut Hablumminannas Mencapai Hablumminallah

 Harian Moslem  Jumat, 24 Juli 2015

Peranan Radio Rimba Raya milik Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo  pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkdudukan di Bireuen paling berjasa dalam mempertahankan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Mulai mengudara ke seluruh dunia  dari dataran tinggi Gayo Kecamatan Rimba Raya Kecmatan Timang Gajah Kabupaten Benar Meriah  20 Desember 1948 dalam siara enam bahasa, Indonesia, Arab, Inggeris, Belanda, Cina dan bahasa  Urdu.

Siaran bahasa Indonsia disiarkan Syarifuddin, Ramli Melayu,M Syah Asyek, Syarifuddin Thaib, Suamsuddin Rauf, Raden Sarsono  dan Agu Sam. Bahasa Arab disiarkan Abdullah Arief,  bahasa Inggeris disiarkan Abdullah, tentara  Sekuru Belanda kebangsaan Inggeris yang membelot ke TRI, bahasa Belanda oleh W Shutz, bahasa  Cina oleh Hie Wun Fie (WNI Bireuen), dan bahasa Urdu disiarkan Chandra,

Sedangkan Letda Ummi Salmah isteri Kolonel Hoessein Joesoef Panglima Diuvisi X mnyiarkan dalam bahasa Aceh sebagai siaran mengihibur para isteri prajurit Divisi X yang suaminya sedang berjuang di Medan Area melawan tentara sekutu Belanda.

Pesawat Radio Rimba Raya sebagai cikal bakal Radio RRI sekrang masih tersimpan di meseum Jogyakarta.
Melalui berita singkat Radio Rimba Raya pada masa perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta 17 Agustus 1945 berhasil memblokade dan membantah siaran bohong Radio Hervenzent Belanda masa agresi-II Belanda tahun 1948 yang menyatakan Indonersia tidak ada lagi sudah dikuasai Belanda.

Inilah cuplikan siaran singkat Radio Rimba Raya yang disiarkan langsung Gubernur Militer Aceh  Mayjen Tituler Tgk Muhammad Daud Beureueh;pada masa perjuangan memprtahankan kemrdekaan RI  65 tahun silam.  

.”Republik Indonesia masih ada,  Pemimpin Republik masih ada, , tentera Republik masih ada, Pemerintah Republik masih ada, wilayah Republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

 Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai manca negara masa itu.

Menomen Radio Rimba Raya  diresmikan  Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin (Alm)  27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah..

Radio Rimba Raya yang berjasa  dalam menyiarkan  berita kemerdekaan RI. dimasa agresi  Belanda ke-dua, 19 Desember 1948 dan peranan Radio Rimba Raya satu-satunya Radio Republik Indonesia sebagai penyiaran  berita di tanah air yang beroperasi ditengah hutan rimba raya dataran tinggi Gayo.

Para penyiar radio dalam enam bahasa mulai 20  Desember 1948 siaran berita terus mengudara, membuat Belanda marah tak kepalang.. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutuskan informasi  melempangkan propaganda perang mereka sendiri. untuk mendukung  agresi-II Belanda.

Sejak radio  mengudara dalam rimba raya, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio . dikelola Tentara Republik Indone4sia (TRI) Divisi X  Aceh, pimpinan Kolonel Hoessein Joesoef  yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa dan Sumatera Timur (Sumut) sekarang.

Malang bagi Belanda. hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi-II, mereka tak kunjung menemukan Radio Rimba Raya  ’ yang terus mengudara menyiarkan berita kemerdekaan Indonsia ke seluruh dunia. .

Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan Radio Rimba Raya itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.“

Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap. Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. 

Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda). Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.

Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara). Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.

Belakangan, namanya diubah menjadi Radio Republik Indoinesia Kutaradja terakhir Radio Rimba Raya.
Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di dataran tinggi Gayo  Aceh Tengah, tepatnya di Barnibius, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama kawasan  hutan pada masa itu s tak berpenghuni.

Lokasi ini dipilih,  karena pegunungan Cot Gue Aceh Besar sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar.

Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Radio Rimba Raya curiga. apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap.uUntuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga TRI.

Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara,  memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi.

 Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim. Melaui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.
 Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.
Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya.
 Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syarifudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.
“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi

 Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Hoesein Joeosoef (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya. Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu.

 Tak hanya Kolonel Hoessein Joeosoef , Gubernur Militer Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.

Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh. Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Abu Beureueh. 

Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.
Sebagai seorang pendukung Indonesia, Abu Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.

Karena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 6.00 pagi.

Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Hoessein Joesoef  juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutiara.
Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lie. “Jhon Lie-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio. ”

 Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura. mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang.

Satu boad bermuatan bahan makanan ditumpangi 12 anggoita TRI Disivisi X Bireuen gugur tenggelam kedasar laut Selat Malaka dibom pesawat sekuru Belanda, sedangkan satu boat lagi bermauatan satu pesawat bersama 12 anggtota TRI selamat berhasil mendaratkan pesawat Radio yang diseludupkan John Lie melalui Sungai Yu pesisir Aceh Timur (sekarang Aceh Tamiang).

 Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Hoessein Joeosoef  yang langsung memboyong pemancar itu ke

Daratan.
Berhentinya  siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak tahun 1947.

Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia sebaga  satu-satunya i Radio dari Aceh yang pertama kali menyiarkan berita “Indonesia Merdeka” ke seluruh dunia.

 Tugu menomen Radio Rimba Raya  persis terletak 40 km dari kota Takengon dibangun pada masa Letjen Purn Bustanil Arifin mantan staf Divisi X Bireuen saat masih menjabat sebagai Menteri Koperasi/Kabulog

Tak Pernah Diziarahi :

 Sejak zaman revolusi 1945 hingga  agresi Belanda 1947-1948 kota Juang Bireuen dikenal sebagai gudangnya pahlawan pejuang., hingga saat ini belum miliki makam pahlawan. 

 Sebagai menghargai jasa-jasa para pahlawan pejuang yang telah tiada, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten sebaiknya memugar makam Kolonel Hoessein Joesoef berasama makam isterinya Letoda Ummi Salmah di Desa Glumpang Payong, Kecamatan Jeumpa, makam Syhada 44 di Lheue Simpang Kecamatan Jeunieb, makam Tgk Diglee Kecamatan Samalanga dan makam-makam lainnya.         
Setiap memperingarti hari kemerdekaan RI 17 Agustus dan peringatan hari pahlawan 10 Nopember selama ini  hanya melaksanakan upcara tanpa ziarah ke makam pahlawan pejuang yang sudah berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahakan kemerdekaan Republik Indonesia.
 Padahal di Bireuen terdapat beberapa makam pahlawan pejuang, Kolonel Hoeseein Joesoef di desa Glumpang Payong Kecamatan Jeumpa 3 km jaraknya sebelah barat kota Bireuen, makam Syuhada 44 di desa Lheue Simpang Kecamatan Jeunieb dan makam delapan (kubu Lapan) di Simpang Tamboe kecamatan Simpang Mamplam. (H.AR Djuli).