BUS MEWAH Pameran GIIAS ICE - BSD

Monday, 15 August 2016

Saksi Sejarah Radio Rimba Raya ini Terharu, ada apa?




Oleh : Darmawan Masri*
Saksi sejarah bagaimana Radio Rimba Raya (RRR) mengudara dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada agresi militer II, Reje Mude Tukiran Aman Jus mengaku terharu saat diberitahu oleh Kabag Humas Bener Meriah, Irmansyah, S.STP untuk mengikuti serangkaian acara memperingati HUT RI ke-71 tahun 2016 pada 17 Agustus mendatang.
Betapa tidak, aman Jus yang merupakan saksi kunci bagaimana gagahnya radio tersebut mengudara menyampaikan kepada dunia bahwa Indonesia masih membantah propanganda Belanda yang berkeinginan menjajah kembali bangsa Indonesia, lewat radio Hilversum, ternyata tidak pernah diundang oleh pemerintah mengikuti acara-acara seremonial peringatan HUT Kemerdekaan bangsa ini.
Padahal menurut catatan sejarah, RRR merupakan benteng terakhir Republik Indonesia, saat Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948 dan saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Belanda mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi, sementara Presiden dan Wakil Presiden pada saat itu telah diculik Belanda guna mempropaganda negara-negara yang termasuk ke dalam Dewan Keamanan PBB bahwa Indonesia itu sudah tidak ada lagi.
Tapi dengan suara yang sayup tapi lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya mematahkan pemberitaan itu dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.
Dan Aman Jus saat itu masih berusia 8 tahun, merupakan sosok anak yang selalu diajak okeh Tentara RR yang bertugas menyiarkan berita penting itu ditengah rimba hutan Rime Raya.
Bentuk perhatian yang diberikan kepada Aman Jus yang disampaikan langsung oleh Irmansyah yang dipercaya sebagai ketua seksi acara malam resepsi HUT RI ke-71 di Kabupaten Bener Meriah dengan menyambangi langsung rumah sederhanya di Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, Rabu 10 Agustus 2016.
“Belum pernah sekali pun saya diajak mengikuti acara peringatan kemerdekaan bangsa yang saya cintai ini, usia saja hampir 80 tahun, baru kali ini saya tak mampu mendengar ajakan ini,” kata Aman Jus dengan suara terbata-bata, menunjuk haru atas ajakan tersebut.
Sementara, Kabag Humas Bener Meriah, Irmansyah, S.STP mengatakan bahwa Aman Jus sangat pantas diikutkan pada upacara dan serangkaian kegiatan lainnya saat memperingati hari bersejarah bagi bangsa ini.
Tak lupa, dia memohon maaf kepada sosok Aman Jus akibat kelalaian pihak pemerintah selama ini, karena mungkin tidak termonitor.
Tak hanya sampai disitu, Irmansyah mengatakan bahwa kesaksian Aman Jus ketika bercerita tentang RRR seharusnya dijadikan sebagai aset berharga dari bangsa ini.
“Kita mulai dulu dari tingkat Kabupaten, kemudian akan difollowup, agar RRR tidak terkesan sebagai dongen. Gayo dan Aceh punya andil besar dalam memerdekakan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Sejarah tak boleh dilupakan,” terangnya.
Pada malam resepsi nanti, Irman mengaku akan memberi ruang bagi Aman Jus untuk menyampaikan kisahnya tentang sejarah RRR. Tak sampai disitu, sang sutradara film dokumenter RRR, Ikmal Gopi juga akan dihadirkan dan diberi ruang mempertontonkan hasil dokumenternya.
“Nantinya diharapkan akan kebijakan yang mengarah langsung kepada sejarah RRR untuk dijadikan sebagai arsip nasional yang diakui,” tandas Irmansyah. []

Pertahankan Kemerdekaan Indonesia, Ikmal : Ingat..! Gayo Punya Radio Rimba Raya









Posted by: lintasgayo.co in Keber Ari RantoSosial BudayaTerbaru  0
Jakarta-LintasGayo.co: Sutradara film dokumenter sejarah Radio Rimba Raya, Ikmal Gopi mengungkapkan bahwa sejarah perjuangan Radio Rimba Raya adalah fakta sejarah di Indonesia yang tak terbantahkan. Hal tersebut dibuktikan Ikmal melalui tayangan Kompas TV yang ditayangkan dalam rangka ulang tahun Radio Republik Indonesia tahun 2014 silam.
Dalam cuplikan film yang berdurasi sekitar 5 (lima) menit itu menceritakan bagaimana kiprah Radio Rimba Raya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
“Disebutkan dalam cuplikan tersebut ketika Radio Republik Indonesia di Yogyakarta di duduki, salah satu radio yang masih bersiaran adalah Radio Rimba Raya yang terletak di Takengon, Aceh Tengah. Radio Rimba Raya itulah yang melawan propaganda-propaganda gubernur Jenderal Van Mook yang menganggap pejuang republik hanyalah sekelompok rintangan yang harus dihadapi polisional Belanda”. (Lihat:, https://youtu.be/9-9blAi0clk).
“Ini adalah bukti sejarah yang kuat, bayangkan jika seandainya Radio Rimba Raya tidak ada pada waktu itu, mungkin kita tidak akan bisa memperingati hari kemerdekaaan setiap tahunnya, karena satu-satunya radio yang bisa bersiaran jarak jauh hanya Radio Rimba Raya,” jelas pria lulusan Institut Kesenian Jakarta tersebut.
Disisi lain bahwa ada kesamaan proses penyampaian informasi tentang sejarah Radio Rimba Raya yang ditayangkan oleh media nasional Kompas TV dengan film dokumenter yang dibuatnya, sehingga Ikmal berkesimpulan sejarah perjuangan Radio Rimba Raya dalam kemerdekaan Republik Indonesia adalah fakta dan tidak terbantahkan.
Ikmal mengharapkan sudah sepantasnya pemerintah sekarang mengakui Perjuangan Radio Rimba Raya tercatat dalam sejarah Republik Indonesia.
“Menurut saya hal tersebut dapat diimplementasikan dalam tindak nyata, sebagai contoh tanggal 19 Desember dapat diperingati sebagai hari bela negara, dan ini kita peringati setiap tahunnya,” tandas Ikmal.
“Bahkan masyarakat Yogyakarta yang terdiri dari berbagai elemen, pada peringatan serangan umum 1 Maret 1949 tahun 2012 yang lalu, telah mengusulkan kepada pemerintah supaya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk dijadikan hari Pahlawan Nasional dan ini di dukung penuh oleh pemerintah propinsi DI Yogyakarta. saya ingatkan! di Gayo kita punya Radio Rimba Raya” ujar Ikmal penuh semangat.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 juga keberhasilan Radio Rimba Raya dalam memainkan peran sebagai radio perjuangan pada waktu itu.
“Kita patut berbangga, karena keberhasilan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, tak lepas dari peran Radio Rimba Raya sebagai media yang menyampaikan informasi, bahwa Indonesia masih ada,” tegas Ikmal.
(Zuhri Sinatra)

Kabag Humas Bener Meriah Kunjungi Saksi Sejarah Radio Rimba Raya Mengudara


Redelong-LintasGayo.co : Kabag Humas Pemkab Bener Meriah, Irmansyah, S.STP, Rabu 10 Agustus 2016 berkunjung ke rumah saksi sejarah bagaimana Radio Rime Raya mengudara menyampaikan kondisi Indonesia masih ada saat agresi militer II tahun 1948.
Saksi sejarah tersebut yakni Reje Mude Tukiran aman Jus, beralamat di Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Menurut Irmansyah kedatangan dirinya sebagai bentuk silaturahmi dengan sosok kunci Radio Rimba Raya sekaligus mengundang beliau di acara resepsi peringatan HUT RI ke-71, 17 Agustus 2016 mendatang.
“Selama ini Aman Jus luput dari pantauan kami selaku pemerintah, dan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-71 pada 17 Agustus mendatang kita akan mengundang Aman Jus dan memberikan penghargaan kepada beliau,” kata Irmansyah yang ditunjuk sebagai ketua seksi acara malam resepsi pada peringatan HUT RI ke-71 tahun 2016.
Bukan sekedar itu, Irmansyah juga menjelaskan bahwa pihaknya juga akan mengundang sutradara RRR, Ikmal Gopi untuk memutar hasil dokumenternya pada acara resepsi peringatan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia tersebut.
“Kita menginginkan bahwa Radio Rimba Raya (RRR) bukan sekedar menjadi sejarah yang hanya diketahui oleh masyarakat Aceh saja, namun bagaimana caranya kita mendesak agar peran RRR memang menjadi sangat fital mengabarkan Indonesia masih ada kepada dunia luar dengan mengabarkan masih berdaulat sekaligus negara merdeka, yang selama ini terlupakan,” tandas Aman Jus.
(Wein Mutuah)

Wednesday, 10 August 2016

Mencari Kehebatan Gayo di TMII

















Posted by: lintasgayo.co in Sara SagiTerbaru  0


Catatan Khalisuddin
Sebuah pertanyaan menggelayut saat mengetahui tempat acara halal bi halal masyarakat Gayo se-Jabodetabek, Sabtu 6 Agustus 2016 diselenggarakan di Museum Keprajuritan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Kenapa di Museum digelar pertemuan sekaligus Didong Jalu?
Pertanyaan ini terjawab saat meliput persiapan acara, sabtu siang. ternyata disana ada open stage yang mampu menampung sedikitnya 2000 pengunjung. Begitu dijelaskan kepala Museum tersebut, Mayor Mustafa Kamal yang ternyata juga Urang Gayo berasal dari Belang Panas Bener Meriah.
“Sudah 3 kali acara urang Gayo digelar disini,” ungkapnya. Dan menurut saya, tempatnya memang sangat cocok untuk pementasan Didong Jalu dengan sedikit modifikasi, maka jadilah tempat refresentatif untuk acara tersebut.
Sempat terpikir, kenapa di Gayo tidak dibangun seperti ini, khusus untuk pementasan Didong yang natabene adalah satu dari sekian kesenian kebanggaan masyarakat Gayo. Dan jika dibandingkan dengan bulu tangkis, olahraga yang tidak pernah membawa harum nama Aceh Tengah, justru punya stadion refresentatif yang berlokasi di seputaran Paya Ilang Takengon. Sial benar nasib seni di Gayo dalam tanda kutip tidak termasuk Gayo Lues yang sukses menduniakan tari Samannya hingga diakui dunia, bahkan tercatat di MURI karena pernah menarikan Saman dengan jumlah 5057 penari di tahun 2014.
Kembali ke Taman Mini yang sebenarnya ada buah tangan putra Gayo disana, yakni miniatur pulau-pulau yang tak lain adalah karya Chairul Bahri, seniman asli Gayo yang juga kreator lambang daerah Provinsi Aceh “Panca Cita”. (baca : Chairul Bahri disainer “Pantja Tjita” yang dilupakan)
Beberapa saat saya larut memperhatikan Ervan Ceh Kul dan kawan-kawan termasuk bintang Idola Cilik 2015, Naura menyesuaikan diri dengan sound system yang disediakan. Mengatasi kejenuhan menanti datangnya malam, saya memperhatikan lingkungan sekitar. Sejumlah patung pahlawan pejuang kemerdekaan tampak berdiri mengitari stage tersebut. Saya perhatikan beberapa diantaranya hingga saya pastikan tidak ada yang dari Gayo, apakah itu Aman Dimot apalagi Inen Mayak Teri, Tengku Tapa dan lain sebagainya.
Masuk ke beberapa ruang mencari informasi yang bisa dibaca, juga tidak ada tertera kata Gayo (semoga saya salah) hingga akhirnya saya naik ke lantai dua. Disana ada semacam lemari kaca yang didalamnya terdapat boneka-boneka mini yang menggambarkan perang. diantaranya tertulis Perang Lombok 1894, Pertempuran Buleleng 1846 dan lain-lain. Tentu perang ini terjadi sedemikian hebat sehingga perlu diketahui masyarakat luas dengan memajang gambaran kondisi perang tersebut di Museum.
Rasa iri menggelayut, kenapa dari Gayo tidak ada?
Tidak perlu jawaban dari orang lain. Saya jawab sendiri, ya wajar karena perjuangan kita (urang Gayo) menjadikan sejarah tokoh pejuang yang salahsatunya Aman Dimot sebagai pahlawan nasional masih gagal.
Walau sudah diusahakan di tahun 2010 silam penerbitan satu buku biografi Aman Dimot sebagai persyaratan terakhir diperolehnya gelar Pahlawan Nasional, dimana saya juga diberi peran menelusuri jejak Aman Dimot atas permintaan Prof. M Din Madjid, saat itu Presiden RI dijabat Susilo Bambang Yudhoyono. (baca : Biografi, Syarat Terakhir Pahlawan bagi Aman Dimot).
Dulu gagal, apakah kegagalan ini bersifat permanen seperti angka matematika 1+1=2? saya rasa tidak. Samasekali tidak seperti itu. Tidak ada salahnya dicoba kembali dengan kelengkapan persyaratan yang lebih mumpuni. Saya kira peluang itu terbuka lebar, terlebih Presiden RI Joko Widodo punya kedekatan tersendiri dengan Gayo yang diakuinya sebagai kampung halamannya yang kedua.
Selanjutnya peran Radio Rimba Raya (RRR) yang sudah nyata-nyata terbukti sebagai salahsatu kunci penting penyelamatan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tahun 1949. Penjajah Belanda ingin mengusai kembali Indonesia dengan agresi meliternya yang dilengkapi dengan propaganda jika Indonesia sudah mereka jajah kembali. Namun dari Gayo, Rimba Raya suara Indonesia masih ada dikumandangkan membantah propaganda tersebut. Bukti sejarah ini berhasil dikumpulkan oleh Ikmal Gopi yang dirangkum dalam film dokumenter Radio Rimba Raya.
Pengakuan dari Pemerintah Aceh sudah didapatkan, dan paling terkini adalah pernyataan Gubernur Aceh Zaini Abdullah di Museum tersebut saat membuka hajatan silaturrahmi masyarakat Gayo se-Jabodetabek, Sabtu malam 6 Agustus 2016.
“Melalui suara-suara pejuang dari dataran tinggi Gayo yang disiarkan Radio Rimba Raya, masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia masih ada dan berdaulat,” begitu klaim Zaini Abdullah yang didengarkan oleh ribuan Urang Gayo di tempat tersebut. Termasuk Kadis Sosial Aceh, Hudri dan tentu saja Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM serta perwakilan Bupati Bener Meriah serta ketua DPRK Aceh Tengah dan Bener Meriah. (baca : Gayo Berjasa Selamatkan Indonesia).
Ya tentu saja, sebenarnyalah jalan terbuka lebar untuk membawa RRR, Aman Dimot dan lainnya masuk ke museum tersebut, tinggal saja kemauan kita semua mengerjakannya dikomandani pihak terkait khususnya Dinas Sosial Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan sokongan Dinas Sosial Aceh.
Semasih ada waktu secepat kita bisa, terlebih RI 1 masih merasa Tanoh Gayo sebagai kampung halamannya. Bukan nepotisme, namun tentu karena dia lebih tau jika usulan kita layak diterima.[]




Tuesday, 9 August 2016

Zaini Abdullah: Indonesia Tidak Boleh Melupakan Gayo










  · 

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah ketika menghadiri‎ silaturrahmi masyarakat Gayo se-Jabodetabek

JAKARTA - Gubernur Aceh, Zaini Abdullah menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak boleh melupakan dataran tinggi Gayo dan warganya yang telah berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan Zaini dalam acara silaturrahmi dan halalbihalal masyarakat Gayo se-Jabodetabek, Sabtu (6/8) malam. Zaini menyebutkan dari dataran tinggi Gayo Aceh wilayah tengah dikumandangkan Indonesia masih ada ketika terjadi agresi militer Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.

"Melalui suara-suara pejuang dari dataran tinggi Gayo yang disiarkan Radio Rimba Raya , masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia masih ada dan berdaulat," ujar Zaini yang turut didampingi Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin serta beberapa tokoh Gayo yang hadir.

Lebih lanjut Zaini mengatakan, oleh karena besarnya peran dataran tinggi Gayo dan Aceh secara umum dalam pergerakan dan mempertahankan kemerdekaan sehingga Presiden Soekano menyebut Aceh sebagai daerah modal.

Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada.

"Sejarah ini perlu terus diingat, agar perhatian terhadap wilayah Gayo dan Aceh secara umum mendapat prioritas dalam kesinambungan pembangunan," tegasnya.

Monday, 8 August 2016

Gayo Berjasa Selamatkan Indonesia

Jakarta-LintasGayo.co : Bangsa Indonesia tidak boleh melupakan dataran tinggi Gayo dan warganya yang telah berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Zaini dalam acara silaturrahmi dan halalbihalal masyarakat Gayo se-Jabodetabek, Sabtu (6/8) malam.
Zaini menyebutkan dari dataran tinggi Gayo Aceh wilayah tengah dikumandangkan Indonesia masih ada ketika terjadi agresi militer Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.
“Melalui suara-suara pejuang dari dataran tinggi Gayo yang disiarkan Radio Rimba Raya, masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia masih ada dan berdaulat,” ujar Zaini yang turut didampingi Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin serta beberapa tokoh Gayo yang hadir.
Lebih lanjut Zaini mengatakan, oleh karena besarnya peran dataran tinggi Gayo dan Aceh secara umum dalam pergerakan dan mempertahankan kemerdekaan sehingga Presiden Soekano menyebut Aceh sebagai daerah modal.
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada.
“Sejarah ini perlu terus diingat, agar perhatian terhadap wilayah Gayo dan Aceh secara umum mendapat prioritas dalam kesinambungan pembangunan,” tegas Gubernur Aceh, Zaini Abdullah.
Film Dokumenter
Upaya merekam sejarah Radio Rimba Raya ini sudah dilakukan dengan sangat detil oleh Ikmal Gopi yang mengemasnya dalam film dokumenter beberapa tahun lalu.
Pengumpulan data sejarah ini dilakukan Ikmal atas inisiatif dan biaya sendiri dalam waktu tidak kurang dari 4 tahun. Sejumlah daerah dikunjungi dengan narasumber para tokoh saksi dan pelaku sejarah.
Sayangnya, film ini belum diperbanyak untuk didistribusikan secara luas, walau atas inisiatif sejumlah pihak termasuk LintasGayo memfasilitasi digelarnya pemutaran dan diskusi  membedah film berdurasi 80 menit tersebut. (MK | Kh)