BUS MEWAH Pameran GIIAS ICE - BSD

Saturday, 3 September 2016

Melawan Lupa, Radio Rimba Raya ‘Sang Penyelamat’ Indonesia

 16 Agustus 2016
KLIKKABAR.COM, BENER MERIAH-Dimana saat itu sangat kritis. Pada tanggal 19 Desember 1948, ibukota Negara Republik Indonesia Yogyakarta dikuasai oleh Belanda. Radio Republik Indonesia (RRI) yang mengumandangkan suara Indonesia merdeka ke seluruh dunia, tiada lagi mengudara. Radio Belanda Hilversum secara lantang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah hancur dan sebagian dunia mempercayai berita itu.
Pada saat demikian gentingnya suasana, tanggal 26 Desember 1948 malam, RRR (Radio Rimba Raya) mengudara menembus angkasa memberitakan bahwa Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila masih ada dan Revolusi 1945 masih tetap menyala.
Pada pada tanggal 19 Desember 1948 Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dalam Sidang Pertahanan Daerah, antara lain memutuskan, tanggal 26 Desember 1948 pemancar Radio yang kemudian dinamakan Radio Rimba Raya harus terus mengudara.
Tanah Aceh, daerah modal Republik Indonesia, dalam menghadapi segala peristiwa yang terjadi, mempersiapkan diri mendatangkan sebuah pemancar yang kuat dari luar negeri. Di Rime Raya inilah, akhirnya setelah mengalami proses perjalanan panjang Radio Rimba Raya bermukim dan pada tanggal 20 Desember 1948 secara berkala mulai mengudara. (Dikutip dari tulisan yang ada di Tugu Radio Rimba Raya).
“Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada. Tentera republik masih ada, wilayah republik juga masih ada dan di sini adalah Aceh”
Begitulah kira-kira pesan heroik pembakar semangat perjuangan yang disiarkan oleh awak radio menyebarkan informasi bahwa Republik Indonesia masih ada kala itu. Sejatinya RRR sangat berjasa dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan Indonesia. Bahkan RRR dapat diumpamakan seperti ‘sehela nafas’ yang tersisa saat nasib Indonesia sedang berada di ujung tanduk.
Seperti dikutip dari Wikipedia, Radio Rimba Raya merupakan radio masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang disiarkan langsung dari Dataran tinggi Gayo. Radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai mengudara sejak Agresi Belanda I sampai dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan tentara Belanda ditarik dari Indonesia.
Melalui radio inilah pesan–pesan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia disiarkan ke seluruh penjuru negeri. Karena Yogyakarta yang merupakan ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia kala itu telah dikuasai oleh Belanda. RRR ini memiliki panggilan sinyal yakni, Suara Radio Republik Indonesia, Suara Indonesia Merdeka, Radio Rimba Raya, Radio Divisi X, Radio Republik Indonesia.
RRR sejatinya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat Belanda telah menguasai objek vital milik Indonesia dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, RRR membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan hingga ke Australia dan Eropa. Akhirnya, akibat berita itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui keberadaan dan kemerdekaan Indonesia.
Konon, ceritanya perangkat RRR itu dipesan oleh tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari Manado) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut menjelang Agresi Militer Belanda I, Juli 1947. Perangkat RRR itu dibeli di Malaysia dan dibawa ke kota Bireuen. Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke Aceh, John Lie menggunakan dua buah speedboat dan mendarat di Sungai Yu (Aceh Tamiang).
Tapi keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim. Sosok yang pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat oleh Tgk. HM Daud Beureueh. Nip Xarim membeli peralatan radio itu bersama Dr. Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan.
Sejarawan Universitas Gajah Mada, Mukhtar Ibrahim membenarkan akan hal ini. Keterangan serupa juga ditulis dalam buku “Peranan Radio di Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara,” yang ditulis oleh Drs. Muhammad TWH. Anggota Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/Ajudan Komandan Divisi X Kolonel M. Husin Yusuf dan John Ekel, serta anggota Divisi X juga membenarkan hal ini.
Terlepas dari kontroversi siapa yang membeli peralatan pesawat tersebut, RRR selanjutnya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan berita secara cepat dan luas, pemancar tersebut akhirnya dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh) dan komponen-komponennya sempat dirangkai pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara.
Pemancarnya dipasang di kawasan Cot Gue, pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda di Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Tgk. HM Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar agar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena berada di wilayah pegunungan.
Peralatan radio akhirnya dibawa ke Aceh Tengah pada tanggal 20 Desember 1948, melalui sebuah perjalanan dengan pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju yaitu Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena resiko sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya.
Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husin Yusuf berusaha mencarinya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil didapatkan.
Sender radio kemudian dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, sehingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husin Yusuf sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Kolonel Husin Yusuf.
Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan RRR, akhirnya pada Desember 1948 RRR berhasil mengudara dan memberitakan ke seluruh dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Dari RRR ini para pahlawan Aceh terus mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan Indonesia dari Belanda. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia, RRR juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Selain mengudara untuk kepentingan umum, radio ini juga melakukan monitor dan mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Selain bahasa Aceh dan bahasa Indonesia, siaran RRR di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu juga menampilkan lima bahasa asing yakni, bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
RRR juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia. RRR setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan Republik Indonesia di New Delhi, India. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All IndiaRadio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja RRR diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut. Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 diJakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Perangkat tua RRR itu kemudian seolah terlupakan dan teronggok di salah satu sudut ruang Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318 dan tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar Hasil Selundupan dari Malaysia. Digunakan Oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.”
Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang RRR di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, RRR pernah menjadi satu-satunya penyelamat Indonesia. Tugu Radio Rimba Raya akhirnya dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya. Tugu ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Bustanil Arifin pada tanggal 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Tugu tersebut terletak di Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Penulis sudah pernah dua kali berkunjung kesini. Pertama di tahun 2013, waktu itu paguyuban Riders Community Nanggroe (RENCONG) yang menaungi puluhan komunitas motor roda dua di Aceh, mengadakan acara bakti sosial dan kegiatan rutin tahunan Kibar Merah Putih Ke V Tahun 2013. Pengalaman yang kedua, tepatnya pada tanggal 7 Agustus 2016 kemarin sepulang dari Takengon. Kondisi Tugu Radio Rimba Raya kini kondisinya semakin tak terurus. Banyak coretan di sana-sini serta cat dan bangunan penunjang lainnya sudah lapuk dimakan usia. Bahkan, bagian atas tugu sudah retak dan hampir roboh karena gempa yang mengguncang kawasan tersebut beberapa tahun yang lalu.
Saksi bisu perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia itu kini terdiam di tengah belantara hutan Gayo. Tentu kita sangat berharap agar Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat dapat menjadikan lokasi daerah Tugu RRR menjadi wisata sejarah dengan ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Dan melalui semangat 17 Agustus, kita juga berharap semoga para petinggi negeri ini tidak luput memperhatikan Tugu RRR sebagai aset bangsa yang sangat berharga nilainya. Semoga.
REPORTER : ZAMZAMI ALI

No comments:

Post a Comment