BUS MEWAH Pameran GIIAS ICE - BSD

Saturday, 3 September 2016

RADIO RIMBA RAYA ACEH DAN PAHLAWAN DI BALIK LAYAR


Home » Wisata Aceh » Radio Rimba Raya Aceh dan Pahlawan di Balik Layar

Dahulu, Soekarno selalu mengelukan simbol “jas merah” nya sebagai pengingat kepada generasi muda untuk jangan sesekali melupakan sejarah bangsanya sendiri, bangsa Indonesia. Namun tanpa diminta pun, sejarah yang dikenang oleh beberapa generasi yang lahir akan terus terkikis sedikit demi sedikit hingga meninggalkan puing cerita yang tak lagi diketahui kebenaran yang sebenarnya.
Begitupun dengan sejarah Radio Rimba Raya dan siapakah tokoh penting di balik layar yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hari ini orang Aceh hanya akan mengingat jasa siaran radio ini yang berhasil lepas dari fitnah pemberitaan Belanda yang menyatakan bahwa Indonesia telah kalah saat itu. Namun, kita tidak pernah mengetahui siapa tokoh di balik siaran radio tersebut, yang begitu berani untuk menyeledupkan peralatan siar ke Aceh dan berani menyiarkan kabar kebenaran tentang Indonesia hingga ke penjuru dunia. Walaupun secara nilai kebangsaan di antara mereka ada yang bukan merupakan warga negara asli Indonesia, namun tanpa jasa mereka mustahil kemerdekaan Indonesia ini bisa kita cicipi seperti saat ini.

Tugu Rimba Raya, Monumen Mengenang Peranan Radio Rimba Raya.
1. John Lie VS Nip Xarim
Kedua tokoh ini masih menjadi sosok kotroversi mengenai siapa yang awalnya berhasil menyeledupkan alat pemancar radio hingga sampai ke Aceh kala itu. Ali Hasyim, dan TA Talsya menyebutkan bahwa John Lie, seorang pahlawan nasional keturunan Tionghoa asal Manado yang berhasil menyeledupkan alat tersebut menjelang Agresi Belanda I pada bulan Juli 1947 melalui Singapura dan melewati jalan laut hingga sampai ke Sungai Yu, Aceh Timur.
Dari beberapa cerita mengatakan bahwa John Lie berhasil mengalihkan perhatian tentara Belanda yang tengah berpatroli dengan membawa dua speedboat. Satu speedboat berisi bahan makanan, dan satu speedboat lagi berisi alat pemancar radio. Demi meninggalkan kesan curiga kepada para tentara Belanda, ia melajukan speedboat yang berisi bahan makanan dengan kencang sehingga tentara Belanda curiga dan mengejar speedboat tersebut. Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar radio selamat sampai ke tujuan.

John Lie sang penyeludup hebat. Photo by[historiadotid]
Versi lainnya menyebutkan bahwa yang menyeludupkan alat pemancar radioa Rimba Raya adalah Nip Xarim, yang merupakan Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang saat itu berkedudukan di Pangkalan Brandan. Ia membeli perangkat tersebut di Malaya bersama Dr. Soufyan dan menyimpannya di Pangkalan Brandan. Justru Nip Xarim membeli peralatan ini jauh sebelum Agresi Belanda I pada tahun 1947 terjadi. Yang membenarkan hal ini adalah Drs. Muhammad TWH. Anggota Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/Ajudan Komandan Divisi X Kolonel M. Hoesein Yoesoef, dan John Ekel, serta anggota Divisi X dalam buku “Peranan Radio di Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara“, serta Mukhtar Ibrahim selaku sejarawan UGM.
2. Abdullah Inggris
Dialah John Edward, salah seorang tentara Inggris (sekutu) berpangkat Letnan yang membelot ke pihak Republik Indonesia (RI) yang kemudian dikenal dengan nama Abdullah Inggris. Di lah orang menyiarkan tentang kedudukan Indonesia yang belum runtuh saat itu ke seluruh penjuru dunia, dengan menggunakan kekuatan frekuensi radio 19, 25 dan 61 meter, serta kekuatan pemancar 300 watt telefoni. Ia menjadi anggota penerangan Tentara Divisi X dan penyiar dalam bahasa Inggris di Radio Rimba Raya. Kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten dan adakalanya dia menjadi Ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husin Yusuf.
Menurut Abidin Hasyim, dkk dalam buku Aceh Daerah Modal (2009) menyatakan bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 melalui Radio Belanda Hilversum, Radio Belanda di Batavia dan Medan mengumumkan bahwa Republik Indonesia telah runtuh, kota-kota utama telah dikuasai dan pemimpin Indonesia telah ditawan. Sontak pemberitaan tersebut membuat warga Indonesia percaya, padahal pada kenyataannya itu hanyalah manipulasi Belanda agar Indonesia benar-benar jatuh saat itu.
Lantas, muncullah Radio Rimba Raya yang menggunakan signal calling Radio Divisi X, Radio Republik Indonesia, Suara Indonesia Merdeka yang segera menjawab:
“Republik Indonesia masih ada. Ada daerah yaitu daerah Aceh. Masih ada pemerintahan, yaitu Pemerintah darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di Sumatera. Ada tentara yaitu Tentara Republik Indonesia dan masih ada rakyat yaitu rakyat Indonesia”.
Bantahan dan perlawanan yang dilakukan oleh Radio rimba Raya membuat Belanda menjadi tersudut. Betapa tidak, pemancar Radio
John Edward atau yang dikenal dengan Abdullah Inggris.
Photo by: Buku Aceh Daerah Modal. 2009
Rimba Raya begitu kuat siarannya dan dapat didengar di berbagai negara Asia, Australia dan beberapa negara Eropa Barat. Tiap malam radio ini muncul di udara dalam enam bahasa yaitu Inggris, Belanda, Indonesia, Arab, Tiongkok dan Urdu.
Radio Rimba Raya juga dapat melaksanakan tugas yang amat penting, yaitu memelihara komunikasi dengan pimpinan pusat gerilya di sekitar pedalaman Yogyakarta dan Surakarta. Waktu itu hanya ada tiga pemancar gerilya yang beroperasi secara terbuka, yaitu Siaran Republik dari hutan-hutan Surakarta, Siaran Pemerintahan Darurat R.I (PDRI) dan Radio Rimba Raya yang berlokasi di antara Bireun-Takengon (sekarang bernama Bener Meriah).

Sumber:
1. Hasyim, A, dkk. Aceh Daerah Modal. 2009. Banda Aceh: Pemerintah Aceh
2. www.rimbarayaaceh.blogspot.co.id
(Visited 35 times, 1 visits today)

No comments:

Post a Comment